Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
Peserta PBI adalah penduduk miskin dan tidak mampu (peserta Jamkesmas dan sebagian peserta jamkesda) yang mendapat bantuan iuran dari pemerintah yang tadinya dikelola oleh Kemenkes atau oleh pemda diserahkan pengelolaannya kepada BPJS Kesehatan. Peserta PBI tidak membayar iuran, tetapi mendapat bantuan iuran dari pemerintah (sesuai Pilar Satu) yang dibayarkan pemerintah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Penerima bantuan iuran adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Artinya, pemerintah dapat memberikan bantuan sosial untuk membayar iuran kepada yang tidak miskin secara ekonomis. Frasa ’orang tidak mampu’ dimuat sesuai dengan kenyataan bahwa orang yang masih mampu makan, tidak mampu berobat atau membayar rumah sakit, karena ketidakpastian besaran biaya yang harus dibayarkan. Dalam PP 101/2012 frasa ‘orang tidak mampu’ dirumuskan sebagai “orang tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya”.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta JKN baik PBI ataupun Non PBI untuk mengikuti ketentuan yang berlaku. Artinya BPJS Kesehatan secara transparan dan aktif melakukan sosialisasi. Tidak ada peserta yang tidak memahami dan tidak menggunakan haknya. Sampai bulan Mei 2014, BPJS masih diberi nilai D (tidak lulus) dalam aspek sosialisasi. Padahal, pemahaman publik merupakan kunci keberhasilan JKN.
Setiap peserta PBI dan Non PBI berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikutinya. Manfaat JKN yang bersifat komprehensif sudah diatur dalam Perpres 111/2013 dan beberapa Permenkes yang mengatur JKN, termasuk Permenkes yang mengatur tarif kapitasi dan CBG. Hanya saja, karena tidak lengkapnya penjelasan dan sosialisasi, banyak RS dan dokter yang tidak memberikan layanan sesuai konsep JKN yaitu semua kebutuhan medis diberikan. Banyak RS membatasi pemberian obat dan layanan dengan alasan tidak dijamin JKN.
Masih perlu waktu dan upaya keras BPJS, Kemenkes, dan pihak-pihak lain yang berwenang untuk menjelaskan bahwa semua kebutuhan medis peserta harus dijamin oleh JKN/BPJS. Peserta juga harus memahami bahwa ‘permintaan’ dirinya atau ‘nasihat atau permintaan dokter’ yang merawat atau mengobati pasien bukan kebutuhan medis. Memang kebutuhan medis tidak bisa dipahami oleh pasien. Dokter yang merawatlah yang mengetahui. Bisa jadi dokter memiliki kepentingan dirinya, maka dokter bisa berbuat moral hazard dengan menjelaskan kepada pasien bahwa pasien perlu obat atau tindakan ini-itu, sayangnya tidak
dijamin atau dibatasi jaminannya dalam JKN. Kemudian dokter tersebut meminta pasien membayar sendiri, untuk mendapatkan bayaran yang lebih dari pasien. Untuk menghindari moral hazard dokter atau tenaga kesehatan, maka BPJS harus melakukan audit medis dan memberikan sanksi administratif, finansial, atau bahkan sanksi hukum jika terdapat moral hazard atau kecurangan/fraud oleh dokter atau pimpinan RS. Hal ini belum dijalankan BPJS pada tahun 2014 (Thabrany, 2014).
0 komentar:
Posting Komentar