Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang – barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk. Menurut Encyclopedia Britanica, Konsumerisme sebagai gerakan atau kebijaksanaan yang diarahkan untuk menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan untuk kepentingan pihak pembeli.
Sassateli (2007) dalam Marisa Liska (2011), menjelaskan istilah “Masyarakat Konsumsi” pertama kali muncul di Barat setelah Perang Dunia II dan dipopulerkan oleh beberapa tokoh sosiologi termasuk Baudrillard. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan bahwa masyarakat saat itu merupakan salah satu variasi kapitalisme yang dibentuk oleh kegiatan konsumsi yang semakin mencolok. Studi ini, disebut sebagai studi produktivis, menilai bahwa masyarakat konsumsi tidak lain merupakan dampak produksi kapitalis. Dengan kata lain, revolusi industri dinilai sebagai transformasi radikal dalam struktur ekonomi produksi dan menjadi akar revolusi permintaan masyarakat terhadap barang. Dari sudut pandang ini, masyarakat konsumsi dapat dianggap sebagai suatu respon kultural yang secara logis mengikuti aliran transformasi ekonomi secara mendasar.
Gervasi (Baudrillard, 1998:63) dalam Marisa Liska (2011), menyatakan bahwa pertumbuhan dalam masyarakat konsumsi diiringi dengan kemunculan produk – produk baru yang didorong oleh meluasnya lingkup konsumsi karena meningkatnya pendapatan. Hal ini karena semakin besar pendapatan seseorang, semakin banyak pula hal yang diinginkan. Akan tetapi, pendapatan sebesar apapun jelas tidak akan dapat memenuhi semua permintaan manusia karena keinginan – keinginan itu tidak memiliki batas tertentu. Maka, perilaku konsumsi pun akan terus terjadi dalam ruang dan waktu masyarakat konsumsi.
Ada dua proses pokok di dalam konsumerisme, yaitu komoditisasi dan dekomoditisasi (Sassateli, 2007:139 dalam Marisa Liska 2011). Kata, komoditisasi terkait dengan dunia periklanan. Sedangkan kata dekomoditisasi berarti bahwa tindakan mengkonsumsi terkandung dalam pemaknaan ulang dan penggunaan kebudayaan material dengan mengubah nilai – nilai komersial sejati dalam suatu barang menjadi berbagai bentuk nilai: kasih sayang, hubungan manusia, simbolisme, status, dan lain sebagainya.
Baudrillard dalam tulisannya The Consumer Society: myths and structures (1998:50) menyatakan bahwa setiap isu mengenai, kebutuhan berakar pada ide tentang kebahagiaan (le bonheur) dan hal inilah yang menjadi acuan dasar masyarakat konsumsi. Ide-ide tentang kebahagiaan dalam masyarakat tidak muncul secara alamiah dalam diri manusia, melainkan dibentuk secara sosial melalui proses sejarah yang panjang dan menjelma dalam masyarakat modern terkait erat dengan ide – ide kesamaan hak (egalitarian myth). Baudrillard, menyatakan bahwa ide keseimbangan, kesamaan yang berasal dari para idealis tersebut adalah hal yang mustahil secara sosial. Peningkatan kuantitas produk yang beredar dalam masyarakat betapapun besarnya kuantitas barang yang diproduksi, betapapun besarnya kekayaan yang dimiliki memperlihatkan tanda – tanda pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat yang pada titik tertentu menghasilkan kesenjangan.
Sehingga, kesamaan, kemapanan bagi semua manusia adalah hal yang tidak mungkin terjadi.
Dengan argumen tersebut, Baudrillard menilai bahwa objek yang dikonsumsi dalam masyarakat konsumsi ini sesungguhnya hanyalah tiruan status, seperti yang ia nyatakan dalam kalimat berikut “Objects merely simulate the social essence (status)” Status inilah yang menyebabkan orang tergila – gila pada objek tertentu. Banyak orang, terutama yang berasal dari kelas masyarakat menengah dan bawah yang menggunakan objek sebagai bentuk pembuktian diri demi perjuangan yang dilakukan dengan perasaan putus asa untuk memperoleh suatu status kehormatan. Melihat hal ini, Baudrillard (1998:61) memandang proses konsumsi dalam dua perspektif, yaitu sebagai:
1. Proses signifikansi dan komunikasi
Yang berarti konsumsi terjadi berdasarkan aturan tertentu yang memberikannya makna seperti bahasa yang menyampaikan makna dalam komunikasi.
2. Proses klasifikasi dan diferensiasi sosial
Yang berarti objek telah menjadi nilai status dalam suatu hierarki dan konsumsi mendistribusikan nilai – nilai tersebut.
Baudrillard (2004) Pada masyarakat konsumsi orang – orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun lebih dikarenakan faktor gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk dari suatu iklan ataupun proses promosi. Terlepas dari nilai guna dan manfaat dari suatu barang, masyarakat konsumsi membeli dikarenakan atas makna yang melekat dari produk tersebut. Sehingga masyarakat konsumsi tidak pernah mampu memenuhi kebutuhannya, tidak pernah merasa puas, dan akhirnya akan menjadi “Pemboros Agung” yang akan mengkonsumsi tanpa henti.
Perilaku konsumen pada masyarakat konsumsi justru akan menghasilkan rasa ketidakpuasan dan menimbulkan rasa teralienasi atas perilaku tersebut. Sehingga akan menimbulkan kesadaran palsu, dimana masyarakat konsumsi merasa terpuaskan namun nyatanya mereka kekurangan dan juga merasa makmur namun sesungguhnya mereka berada dalam kemiskinan. Saat ini kita tidak sedang hidup di dalam masyarakat yang berkecukupan, melainkan hidup di dalam masyarakat pertumbuhan. Dimana ideologi dari masyarakat pertumbuhan selalu menghasilkan dua hal, yakni kemakmuran dan kemiskinan. Kemakmuran akan diperoleh bagi masyarakat yang diuntungkan, sedangkan kemiskinan akan diperoleh pada masyarakat yang terpinggirkan. Kenyataannya, pertumbuhan adalah alat untuk membatasi ruang gerak orang – orang miskin, oleh sebab itulah ideologi ini terus dipertahankan untuk menjaga sistem karena menurut pendapat Baudrillard pertumbuhan merupakan fungsi dari kemiskinan. Dimana pertentangan di dalamnya mengarah kepada pemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena “Kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang.
Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen diantaranya yakni :
1. Faktor Eksternal
Faktor – faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain:
a. Kelas Sosial
Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen yang bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan yang keanggotaanya mempunyai nilai minat dan perilaku yang sama (Philip Kotler, 1993 : 225). Kelas sosial mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
- Orang – orang dalam setiap kelas sosial cenderung mempunyai perilaku yang serupa disbanding orang – orang yang berasal dari dua kelas social yang berbeda.
- Seseorang dipandang mempunyai pekerjaan yang rendah atau tinggi sesuai dengan kelas sosialnya.
- Kelas sosial seseorang dinyatakan dengan beberapa variabel seperti jabatan, pendapatan, kekayaan, pendidikan dan orientasi terhadap ilai daripada hanya berdasarkan sebuah variabel.
- Seseorang mampu berpindah dari satu kelas social ke kelas sosisal lainnya, naik atau turun selama hidupnya.
Kelas sosial memegang peranan penting dalam suatu program pemasaran, karena adanya perbedaan substansial diantara kelas – kelas tersebut memengaruhi perilaku pemberian mereka. Pembagian kelas sosial dapat digunakan sebagai variabel yang bebas untuk meramalkan tanggapan konsumen terhadap kegiatan perusahaan. Dengan memahami perilaku konsumen antara masing – masing kelas social maka perusahaan dapat menyelenggarakan dan melaksanakan program – program pemasaran yang efektif dan efesien.
b. Kelompok Referensi dan Kelompok Sosial
1. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah kelompok yang menjadi ukuran seseorang untuk membentuk kepribadian perilakunya. Biasanya masing – masing kelompok mempunyai pelopor opini (opinion leader) yang dapat memengaruhi anggota dalam membeli sesuatu. Orang umumnya sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi mereka dengan tiga cara pertama, kelompok referensi pada seseorang perilaku dan gaya dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut ingin menyesuaian diri yang dapat memengaruhi pilihan produk dan merk seseorang (Philip Kotler, 1993 : 228). Dalam hal ini maka manajer pemasaran perlu mengetahui siapa pelopor opini dan suatu kelompok bersangkutan, guna menentukan program pemasaran.
2. Kelompok Sosial
Semenjak manusia dilahirkan sudah mempunyai hasrat atau keinginan pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (masyarakat) serta keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekelilingnya. Untuk dapat mengetahui alam dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Sehingga timbul kelompok – kelompok sosial dalam kehidupan manusia. Kelompok – kelompok tersebut merupakan himpunan manusia yang hidup bersama, saling berhubungan timbale balik, pengaruh memengaruhi, dan kesadaran untuk saling tolong – menolong. Suatu kelompok tidak merupakan kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang, dan akan mengalami perubahan – perubahan dalam aktivitas maupun bentuknya. Perkembangan dan perubahan suatu kelompok sosial dan memengaruhi individu – individu dalam suatu kelompok dalam berperilaku.
2. Faktor Internal
Faktor – faktor lingkungan internal yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain:
a. Motivasi
Perilaku seseorang dimulai dengan adanya suatu motif yang menggerakkan individu dalam mencapai suatu tujuan. Secara definisi motivasi adalah suatu dorongan kebutuhan dan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan (Basu Swastha DH dan T. Hani Handoko, 1982 : 76). Tanpa motivasi seseorang tidak akan terpengaruh untuk mencari kepuasan terhadap dirinya.
b. Persepsi
Persepsi didefinisikan sebagai proses di mana seseorang memilih, mengorganisasikan dan mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti dari dunia ini (Philip Kotler, 1993 : 240). Persepsi dapat melibatkan penafsiran seseorang atas suatu kejadian berdasarkan pengalaman masa lalunya. Pada pemasar perlu bekerja keras untuk memikat perhatian konsumen agar pesan yang disampaikan dapat mengenai pada sasaran.
Teori Konsumerisme dipilih penulis sebagai salah satu mata pisau dalam menganalisa permasalah dalam penelitian ini dikarenakan kesesuaian dari penjelasan pada teori tersebut. Dimana pada teori konsumerisme membahas tentang perilaku konsumen dalam membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan masyarakat konsumsi. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Baudrillard yang menilai bahwa keputusan konsumen yang diambil oleh masyarakat konsumsi sesungguhnya hanyalah sebuah tiruan berdasarkan status dan status inilah yang menyebabkan orang menjadi “tergila – gila” pada objek tertentu. Sehingga membeli dan mengkonsumsi barang pada masyarakat konsumsi bukanlah berdasarkan nilai guna dan manfaat dari barang tersebut, melainkan berdasarkan gaya hidup dan makna yang melekat dari suatu produk.